Jamu bukan sekadar minuman pahit berwarna-warni. Lebih dari itu, ia adalah warisan budaya yang memuat jejak panjang pengetahuan lokal. Diracik dengan kesabaran, kasih sayang, dan pengalaman lintas generasi. Di tengah hiruk-pikuk pengobatan modern, jamu menawarkan alternatif kepada kita untuk kembali ke alam, kembali ke akar, dan kembali ke diri sendiri.
Sejak kecil, saya sudah akrab dengan jamu. Temulawak, kunyit asam, dan beras kencur adalah menu favorit setiap kali Mbok Jamu melintas depan rumah di sore hari. Sesekali, ibu juga membuat jamunya sendiri. Buat saya, biasanya ibu akan membuatkan jamu beras kencur. “Biar makannya banyak,” kata Ibu sambil tersenyum.
Dulu, saya menyukai jamu karena rasanya yang enak. Sesederhana itu. Belum terlintas saat itu, bahwa jamu sangat bermanfaat bagi kesehatan kita di kemudian hari. Belakangan, saya sadar jika kebiasaan ibu membuatkan jamu yang ‘ramah’ lidah sebagai strategi agar anak bungsunya ini terbiasa dengan jamu sejak dini.
Puluhan tahun berlalu. Ibu masih setia dengan kebiasannya meracik berbagai rimpang dan meminumnya setiap hari. Di dapurnya irisan kunyit, parutan jahe, kencur, dan daun salam selalu tersedia. Sementara saya, mulai jauh dari kebiasaan itu. Apalagi sejak menikah dan kini tinggal terpisah.
Hingga suatu hari, istri saya mulai sering mengeluh soal lambungnya. Sejak kuliah, katanya, ia memang memiliki masalah maag. Makanan pedas, pola makan yang kacau, stres, dan kurang tidur mungkin menjadi penyebab utamanya. Ketika saya ceritakan hal ini kepada ibu, beliau menasihati, “Coba bikin jamu. Jangan cuma obat-obatan.”
Saya pun mulai berselancar di internet, menonton video para praktisi jamu dan pakar herbal, serta membeli buku tentang jamu. Akhirnya, saya menemukan resep racikan dari empat bahan sederhana yang terdiri dari jahe, daun sembung, jinten hitam, dan kunyit. Saya membeli bahan di pasar, saya racik perlahan, penuh harap sambil membaca petunjuk minumnya. Alhamdulillah, hasilnya membaik setelah seminggu mulai rutin meminumnya. Kini, istri saya tak lagi sering mengeluh sakit di perutnya. Jika pun ada, bahan-bahan tradisional itu pun sudah tersedia di dapur rumah.
Dari pengalaman itu, saya juga belajar bahwa minum jamu tidak bisa sembarangan. Ada cara penyajian, takaran, dan waktu yang tepat untuk dikonsumsi. Selain itu, adanya perbaikan pola makan dan gaya hidup membuat hasilnya menjadi lebih maksimal.
Saya menyadari bahwa jamu bukan sekadar tradisi, tapi juga solusi. Ia adalah bentuk perhatian, cara alami merawat tubuh, serta ekspresi kreativitas budaya yang terus hidup. Bahkan, pada tahun 2023, jamu telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda dari Indonesia.
Tak hanya itu, jamu juga telah menjadi bagian dari diplomasi budaya Indonesia di dunia internasional. Melalui Hari Jamu Nasional setiap 27 Mei, Pemerintah dan berbagai pelaku usaha jamu mengadakan berbagai kegiatan untuk membuka mata generasi muda terhadap eksistensi terhadap warisan tak ternilai ini. Kini, banyak generasi muda mulai memodernisasi penyajiannya dalam bentuk minuman siap saji, kapsul, bahkan permen herbal.
Jamu memang bukan obat instan. Namun sebagai bagian dari pola hidup sehat, ia adalah pendamping yang bijak. Dengan meracik jamu dan membiasakan gaya hidup sehat, kita tak hanya merawat tubuh tetapi juga menjaga warisan budaya agar tetap hidup.
Tinggalkan Balasan