Bisakah RI Hentikan Tiongkok di Laut China Selatan?

Manuver Tiongkok di Laut China Selatan sering kali menaikkan tensi diplomatik mereka dengan sejumlah negara di kawasan itu. Terbaru, pada 15 Mei 2024, sekitar 100 aktivis dan nelayan Filipina berkonvoi menaiki perahu kayu menuju perairan Scarborough Shoal, yang selama ini menjadi sengketa antara kedua negara. Aksi tersebut bertujuan untuk menghalangi manuver dari kapal penjaga pantai Tiongkok (China Coast Guard) yang kepergok membangun sebuah pulau buatan di kawasan tersebut dalam beberapa pekan terakhir.

Konflik Laut China Selatan bermula oleh klaim sepihak Tiongkok yang menetapkan sembilan garis putus-putus imajiner atau Nine-Dash Line atas wilayah perairan kaya ikan tersebut. Beberapa negara kawasan melayangkan protes keras terkait klaim itu. Sebab, garis putus-putus berbentuk huruf U itu tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejumlah negara seperti Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Filipina. Kendati Permanent Court of Arbitration (PCA) atau Mahkamah Arbitrase Internasional telah membatalkan klaim perihal Nine-Dash Line, Tiongkok tetap bersikukuh pada pendirian mereka dan secara arogan menyatakan bahwa PCA tidak memiliki yurisdiksi terhadap sengketa yang terjadi.

Tiongkok juga berkali-kali melakukan tindakan provokatif dengan memasuki wilayah perairan di luar zona Nine-Dash Line. Kita tentu masih ingat dengan kegaduhan diawal tahun 2020 lalu. Saat itu, kapal nelayan Tiongkok memasuki wilayah maritim Indonesia dan melakukan aksi pencurian ikan di Perairan Natuna. Tiongkok bahkan sengaja mengirimkan kapal penjaga pantai mereka dengan kondisi siaga tempur untuk melindungi aktivitas ilegal tersebut.

Untuk meredam kegaduhan publik, Presiden Joko Widodo sampai harus turun tangan langsung dengan berlayar menaiki KRI Usman Harun menuju perbatasan. Aksi heroik tersebut memang berhasil mengusir kapal-kapal Tiongkok menjauh dari wilayah maritim Indonesia. Namun, tak lama setelah rombongan Presiden kembali ke Jakarta, kapal-kapal itu berputar arah dan kembali memasuki Perairan Natuna.

Selepas kejadian itu, Tiongkok semakin sering berulah dengan memasuki batas kedaulatan wilayah maritim Indonesia. Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyebutkan bahwa pada September 2021, kapal survei berbendera Tiongkok, Haiyang Dizhi 10 terlihat memasuki wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan riset serta mengambil sampel dari beberapa lokasi.

Setahun kemudian, pada 8 September 2022, kapal penjaga pantai milik Tiongkok, CCG 5403 melakukan manuver berbahaya di wilayah ZEE Indonesia sehingga nyaris bertabrakan dengan kapal nelayan Natuna. Dua bulan kemudian, pada Desember 2022, untuk kali pertama, kapal patroli terbesar di dunia milik Tiongkok, CCG 5901 terlihat wara-wiri dengan leluasa di wilayah Perairan Natuna. Mirisnya, tidak ada yang bisa kita lakukan saat itu, selain menontonnya dari kejauhan.

Tiongkok semakin memperkeruh keadaan dengan memperbarui peta wilayah yang mereka sebut sebagai Peta Standar Cina edisi 2023. Peta baru yang kini memuat 10 garis putus-putus atau Ten-Dash Line itu semakin memperluas klaim Tiongkok atas wilayah Laut China Selatan. Kabar buruknya, Tiongkok memasukkan Laut Natuna Utara milik Indonesia sebagai bagian dari teritori mereka. Indonesia merespons klaim itu dengan mengirimkan protes langsung kepada Beijing. Namun, Tiongkok bergeming dan berdalih bahwa penarikan garis Ten-Dash Line itu telah sesuai berdasarkan peta historis mereka.

Tindakan Tiongkok yang merilis peta tersebut hanya selang beberapa hari sebelum digelarnya KTT ASEAN, KTT Asia Timur dan KTT G20 seolah memberikan pesan kepada dunia internasional bahwa mereka tidak takut dengan siapapun dalam sengketa Laut China Selatan.

Eskalasi kehadiran militer Amerika Serikat beserta sekutunya yang menggelar latihan gabungan di kawasan Laut China Selatan sepertinya juga tidak mampu mengintimidasi Tiongkok untuk mundur. Tak mau kalah, Tiongkok pun melakukan patroli tempur militer di perairan yang sama. Bahkan, Tiongkok secara tegas mengultimatum Amerika Serikat dan kawan-kawan untuk tidak ikut campur lebih jauh dalam persoalan sengketa wilayah yang terjadi di sana. Meningkatnya rivalitas power majors di kawasan ini dikhawatirkan oleh berbagai pihak dapat memicu terjadinya perang terbuka sehingga mengancam stabilitas dan keamanan kawasan yang selama ini menjadi urat nadi jalur perdagangan dunia. 

Mencermati dinamika yang sedang berkembang, penting bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis demi melindungi kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat, saat ini Indonesia termasuk claimant states setelah Tiongkok ‘secara resmi’ mengklaim Laut Natuna Utara pada bulan Agustus tahun lalu. Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia telah berulang kali menegaskan bahwa pendekatan militer bukanlah opsi yang bijaksana dalam upaya menyelesaikan sengketa Laut Natuna Utara ini. 

Sebelumnya, Indonesia bersama ASEAN telah lama merintis jalan menuju resolusi damai dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan. Langkah diplomasi pun telah dilakukan melalui dialog multilateral antara ASEAN dan Tiongkok yang menghasilkan sebuah komitmen bersama untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut. Komitmen ini diwujudkan dalam Declaration of Conduct (DoC) yang disepakati pada tahun 2002. Keberadaan DoC diharapkan menjadi landasan bagi penyusunan Code of Conduct (CoC) yang mengatur secara rinci pedoman tata perilaku negara-negara di sekitar kawasan. Hampir 22 tahun berlalu, tetapi poin-poin kesepakatan yang diharapkan belum kunjung tercapai.

Alotnya upaya diplomasi, menuntut Indonesia bersama sepuluh negara ASEAN lainnya untuk duduk bersama dan kembali memutar otak guna menemukan cara ‘meluluhkan hati’ Tiongkok. Apalagi selama proses diplomasi, Tiongkok telah terbukti berkali-kali melanggar berbagai komitmen yang mereka ratifikasi sendiri. Indonesia bersama ASEAN diharapkan kembali merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang mampu mengintervensi manuver ngawur Tiongkok di Laut China Selatan. Posisi ASEAN sebagai mitra strategis bagi Tiongkok tentu memiliki daya tawar tinggi yang diharapkan dapat memperkuat posisi negara-negara kawasan dalam penyelesaian sengketa berkepanjangan ini.

Terkait sengketa Laut Natuna Utara, Indonesia sebaiknya segera menginisiasi adanya pertemuan bilateral dengan Tiongkok. Sebab, penyelesaian sengketa melalui forum multirateral dinilai akan berjalan sangat alot dan memakan waktu. Adanya overlapping claim yang melibatkan lebih dari satu negara dalam konflik Laut China Selatan menyebabkan kesepakatan akan sangat sulit dicapai dalam waktu yang singkat. Hal ini bercermin dari lambannya perumusan CoC yang mengalami deadlock selama lebih dari dua dekade.

Intinya, Indonesia harus memainkan dua peran dalam sengketa wilayah ini. Dalam kerangka ASEAN, Indonesia bersama-sama dengan anggota lainnya sebisa mungkin menekan Tiongkok melalui berbagai kebijakan strategisnya. Dalam kerangka bilateral, Indonesia dan Tiongkok sebaiknya duduk dalam satu meja dan mulai berbicara ‘dari hati ke hati’ untuk membahas solusi damai terkait penyelesaian sengketa Laut Natuna Utara. 

Terlepas dari itu semua, Indonesia bersama ASEAN diharapkan terus aktif menggalang dukungan dari berbagai pihak guna mendesak Tiongkok untuk bersikap bijaksana dalam penyelesaian sengketa wilayah di Laut China Selatan.

Telah diterbitkan juga di Kompasiana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *