Apa Kabar Masa Depan Literasi di Indonesia?

Perilaku masyarakat kita yang lebih cenderung menggemari konten audiovisual sering kali dicap sebagai biang keladi atas rendahnya minat baca di Indonesia. Perilaku ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman serius bagi ekosistem industri buku di masa depan. Pertanyaannya, mampukah penulis memikat pembaca dan tetap relevan seiring kemajuan teknologi digital?

Rendahnya Minat Baca di Indonesia

Salah satu kecakapan literasi yang bisa kita dapatkan melalui buku ialah membaca. Sayangnya, UNESCO pada tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan minat baca paling rendah di dunia. Konon, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang menaruh minat pada aktivitas ini. Studi dari Central Connecticut State University pada tahun 2016 juga menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara dalam sebuah riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked. Kedua fakta itu dikuatkan oleh penelitian dari Perpustakaan Nasional pada tahun 2017 yang menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat kita hanya menghabiskan waktu kurang dari satu jam untuk membaca setiap harinya, atau tiga sampai empat kali dalam sepekan. Artinya, dalam satu tahun orang Indonesia rata-rata hanya menghabiskan lima sampai sembilan buku saja.

Kondisi tersebut tentu menjadi berita buruk bagi perkembangan bangsa kita ke depan. Rendahnya animo masyarakat, khususnya generasi muda terhadap buku tidak hanya berdampak pada keberlangsungan industri buku itu sendiri, tetapi juga pada kualitas sumber daya manusia. Minat baca yang rendah dapat menghambat perkembangan intelektual serta nalar kritis seseorang hingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kemajuan sebuah bangsa secara keseluruhan.

Persoalan Klasik dalam Industri Buku

Selain rendahnya minat baca, beberapa persoalan klasik juga menjadi masalah serius yang dihadapi oleh industri buku kita saat ini. Salah satu yang paling mendesak ialah tentang buruknya perlindungan hak cipta, yang menyebabkan aksi pembajakan buku, baik fisik maupun digital seperti tak kunjung menemukan solusinya. Sejak lama penerbit dan penulis berharap pemerintah bekerja secara serius untuk menghentikan praktik ilegal ini. Faktanya, pembajakan buku justru semakin marak terjadi. Buku-buku bajakan leluasa diperjualbelikan melalui berbagai platform marketplace yang mudah diakses oleh siapa saja. Ironisnya, masyarakat bersikap permisif terhadap fenomena ini. Bahkan, sebagian justru malah seperti menikmatinya. Padahal kita semua paham, bahwa pembajakan tidak hanya merugikan dari sisi ekonomi, tetapi juga bisa perlahan  mematikan kreativitas dan motivasi penulis untuk terus berkarya.

Masalah berikutnya ialah mengenai besaran royalti yang diterima penulis. Umumnya, seorang penulis mendapatkan royalti sekitar 10% dari hasil penjualan, dan itu pun baru bisa dikantongi setelah menunggu 6-12 bulan sejak karya mereka diterbitkan. Penerbit juga menghadapi masalah yang hampir serupa, yakni tipisnya margin profitabilitas yang didapatkan. Sebab, porsi terbesar dari keuntungan biasanya masuk ke kantong distributor atau toko buku.

Tren Penjualan Buku Terus Naik

Berita baiknya, seusai pandemi berlalu angka penjualan buku di Indonesia kembali menunjukkan tren yang terus meningkat. Data IKAPI pada tahun 2022 menunjukkan bahwa jumlah buku fisik yang terjual di Gramedia pada tahun itu mencapai 22,2 juta eksemplar, terdiri dari sekitar 66 ribu judul buku. Ini berarti terjadi kenaikan sebesar 12,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Data tersebut sedikit banyak telah memberikan gambaran kepada kita bahwa ditengah masifnya beragam konten digital, buku fisik tetap menjadi pilihan tak tergantikan bagi sebagian orang.

Memaksimalkan Peran Platform Digital

Keberadaan platform digital merupakan angin segar bagi penulis dengan idealisme yang tinggi. Mereka lebih leluasa mempublikasikan tulisan tanpa harus dipusingkan oleh proses penyuntingan yang sering kali justru menghilangkan esensi dari tulisan itu sendiri. Kemajuan teknologi ini juga memungkinkan penulis untuk bereksperimen dengan berbagai format dan genre baru dalam berkarya. Mereka bisa bereksperimen dengan format interaktif seperti choose-your-own-adventure yang memungkinkan pembaca untuk memilih alur cerita mereka sendiri. Penulis bisa juga mengadopsi teknologi augmented reality (AR) untuk menciptakan pengalaman membaca yang lebih imersif.

Penerbit rasa-rasanya tak perlu resisten terhadap kemunculan platform seperti Wattpad, Kindle Direct Publishing (KDP), dan Fizzo yang nyatanya belum mampu mendisrupsi keberadaan buku fisik seperti yang dikhawatirkan banyak pihak selama ini. Sebaliknya, platform tersebut justru menjadi ladang subur bagi para penerbit untuk menyemai talenta potensial dengan basis penggemar yang cukup besar. Tidak sedikit penulis populer yang lahir melalui platform ini. Sebut saja, Syalsabila Falensia penulis Santri Pilihan Bunda yang karyanya telah dibaca sebanyak 53 juta kali di Wattpad. Kesuksesan itu diikuti dengan diterbitkannya novel berjudul serupa oleh Gramedia, yang lantas diadaptasi menjadi sebuah series yang telah disaksikan lebih dari 10 juta penonton.

Menjangkau Pembaca Melalui Media Sosial

Dukungan media sosial sangat diperlukan oleh seorang penulis untuk tetap keep-in-touch dengan para pembacanya. Melalui Instagram misalnya, penulis bisa memposting kutipan-kutipan menarik dari bukunya, berbagi proses kreatif perihal kepenulisan, atau melakukan promosi karya terbaru mereka. Sesekali, penulis juga bisa mengadakan sesi tanya jawab melalui fitur live streaming. Interaksi real-time seperti ini tidak hanya memperkuat hubungan antara penulis dan pembaca, tetapi juga memberikan kesempatan bagi penulis untuk secara langsung mendapatkan umpan balik dari audiens mereka. Tak bisa dibantah, media sosial merupakan alat yang sempurna bagi penulis untuk menciptakan basis penggemar yang loyal, membangun personal branding serta meningkatkan awareness publik. Hal tersebut bisa membuka peluang bagi penulis untuk berkolaborasi dengan berbagai brand dan perusahaan yang ingin melakukan endorsement untuk tujuan komersial.

Monetisasi Konten Digital Lebih Beragam

Tak hanya berharap royalti, saat ini penulis dapat memonetisasi karya mereka melalui beragam platform digital yang tersedia. Disamping menjual produk fisik, penulis juga bisa menggunakan skema berlangganan yang difasilitasi oleh platform digital, seperti Patreon atau Substack. Dengan cara ini, penulis bisa mendapatkan dukungan finansial dari penggemarnya, dan para penggemar bisa mendapatkan konten ekslusif dari penulis favorit mereka. Model bisnis seperti ini memungkinkan penulis untuk memperoleh pendapatan yang stabil dan berkelanjutan dari pembaca setianya.

Monetisasi juga bisa dilakukan melalui kerja sama dengan perusahaan atau brand yang ingin memanfaatkan konten penulis untuk tujuan komersial. Misalnya, sebuah brand bekerja sama dengan penulis untuk membuat sebuah cerita yang mengintegrasikan produk mereka didalamnya. Bisa juga penulis menjadi brand ambassador yang mempromosikan produk-produk tertentu melalui karyanya. Selain itu, penulis bisa mengadakan workshop atau kursus daring berbayar untuk membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka di bidang kepenulisan kepada para penggemar dan calon penulis lainnya.

Merevolusi Buku menjadi Industri Konten Kreatif

Momentum ini melahirkan sebuah gagasan untuk merevolusi buku menjadi sebuah industri konten kreatif. Bisnis buku bukan hanya tentang buku itu sendiri, melainkan tentang konten yang ada di dalamnya. Dalam kasus ini, penulis dan penerbit bisa menyepakati penyajian konten dalam berbagai format, seperti eBook, audiobook, ataupun flipbook yang tentunya lebih menarik dan interaktif bagi pembaca. Lebih lanjut, sebuah buku bisa dikembangkan dan diadaptasi menjadi konten audiovisual seperti film, series dan semacamnya.

Dengan sudut pandang ini, penerbit tidak hanya bertugas memproduksi buku, tetapi juga mengelola konten diawali dari proses produksi, distribusi, sampai menyajikannya kepada pembaca. Transformasi ini membuka peluang bagi penerbit untuk melakukan diversifikasi produk yang lebih luas, menarik segmen pelanggan baru selain penikmat buku, dan tentunya menciptakan sumber pendapatan baru.

Gramedia tercatat pernah mengadopsi ide brilian ini dengan menduetkan sastrawan legendaris Indonesia, Sapardi Djoko Pramono dengan penyair sekaligus influencer muda, Rintik Sedu. Mereka berdua terlibat dalam proyek menulis sebuah novel yang berjudul Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang. Dalam konteks ini, Gramedia tidak hanya menjalankan bisnis buku, tetapi juga berperan sebagai promotor yang berbisnis konten dan kekayaan intelektual dengan merek Sapardi Djoko Pramono. Kolaborasi semacam ini membuka peluang bagi setiap penulis untuk memperluas jangkauan karya mereka serta menciptakan karya-karya yang lebih kaya dan beragam.

Waktunya Para Kreator Berkolaborasi

Kemajuan teknologi membuka jalan bagi penulis berkolaborasi dengan kreator lain untuk menyajikan karya mereka dalam format yang beragam. Misalnya, sebuah novel populer bisa saja diadaptasi menjadi webtoon, game, atau serial televisi. Kolaborasi semacam ini diharapkan mampu menjaring audiens yang lebih luas dan berimbas pada meningkatnya popularitas karya asli. Penulis bisa juga berkolaborasi dengan ilustrator untuk mengemas novelnya menjadi novel grafis dengan ilustrasi yang lebih menarik, atau berkolaborasi dengan pengembang aplikasi untuk membuat versi interaktif dari rangkaian cerita yang ditulisnya. Kolaborasi semacam ini tidak hanya memperkaya karya asli, tetapi juga menambah nilai jual serta menarik segmen penikmat baru, selain pembaca buku.

Tetap Bersinar di Era Digital

Kemajuan teknologi digital menuntut penulis untuk menjaga kualitas serta orisinalitas karya mereka di tengah banjirnya beragam konten digital. Mereka perlu menemukan cara untuk membuat karyanya terlihat menonjol dan tetap relevan di tengah persaingan yang semakin ketat. Jika tak mampu menjawab tuntuntan itu, bukan tidak mungkin karya mereka akan tenggelam dan ditinggalkan oleh pembacanya. Selain itu, penulis dituntut mampu memanfaatkan data dan analitik untuk memahami preferensi pembaca mereka. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang tepat, penulis diyakini mampu menghadapi tantangan era digital dan memanfaatkan peluang yang ada untuk berkembang dalam industri kreatif yang terus berubah.

Dengan dukungan kemajuan teknologi saat ini, penulis bersama penerbit memiliki peluang besar untuk dapat terus menghidupi literasi dan menciptakan karya-karya yang relevan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, literasi bisa terus hidup dan berkembang sambil tetap melibatkan buku sebagai bagian penting di dalamnya. Kemajuan teknologi digital menjadi jalan baru bagi penulis untuk menjangkau audiens global, bereksperimen dengan berbagai format baru, dan memonetisasi karya mereka dengan cara yang lebih beragam. Melalui strategi pemasaran yang tepat dan kolaborasi yang inovatif, penulis dapat memanfaatkan peluang yang ada untuk berkembang dan terus bertumbuh dalam industri kreatif yang terus berubah.

Kuncinya adalah Inovasi

Pada akhirnya, inovasi menjadi kata kunci dalam menjaga keberlanjutan literasi serta memperkaya budaya membaca di era digital. Penulis dan penerbit yang mampu beradaptasi dan berkembang menyesuaikan alur zaman akan menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat yang literat dan berbudaya. Kesadaran akan pentingnya literasi dan dukungan teknologi yang tepat akan memastikan bahwa buku dan kegiatan membaca tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat kita di masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *