Bagi orang-orang seperti Bapak, teknologi itu sebelas dua belas dengan jajanan kekinian. Meski digandrungi anak-anak muda, tapi bagi mereka justru seringkali terlihat aneh dan susah untuk dicerna. Intinya, tidak cocoklah!
Dengan raut muka penuh bangga, Bapak memamerkan aplikasi BRImo yang sudah terinstal di ponsel barunya. Katanya, biar tidak perlu repot bolak-balik mesin ATM cuma buat ngecek saldo.
“Biar praktis,” ucapnya penuh semangat.
Meskipun menurut cerita Ibu, alasan sebenarnya sih bukan itu.
“Bapakmu kalau sudah urusan gengsi, memang tak mau kalah sama teman-temannya,” ujar Ibu mengakhiri sesi rasan-rasan waktu itu.
Beberapa waktu lalu, Bapak juga pernah mendadak beli laptop cuma gara-gara sirkelnya di sekolah sudah pakai laptop semua. Toh, romansa Bapak dengan laptop barunya itu hanya bertahan seumur jagung. Si Bapak mutung alias patah semangat begitu sadar kalau ‘main’ laptop itu ternyata tidak semudah yang dipikirnya. Ditambah, mata minusnya sudah tidak kuat melotot lama-lama di depan layar dengan setelan brightness rata kanan.
Makanya, sewaktu Bapak bilang mau belajar pakai BRImo, aku antara percaya dan tidak percaya. Sulit membayangkan Bapak diusianya yang hampir kepala enam bisa cekatan menggunakan aplikasi m-banking di hapenya. Takutnya, nanti malah mutung lagi seperti kejadian yang sudah-sudah.
Namun, aku harus angkat peci mengapresiasi keputusan Bapak kali ini. Bapak ‘Si Manusia Purba’ yang biasanya alergi terhadap segala hal berbau digital, akhirnya bersedia mengangkat bendera putih dan memilih berdamai dengan perkembangan zaman.
“Pak Anu, sekarang kalau belanja cuma nunjukkin hape aja,” cerita Bapak penuh antusias.
“Tapi tetep, duit di rekeningnya ikutan abis, kan?” sahut Ibu yang sepertinya tak setuju dengan keputusan Bapak.
Bapak terdiam.
“Klik yang warna biru itu, Pak!” aku menunjuk logo BRImo di ponsel Bapak. Memotong perdebatan mereka berdua.
Alih-alih membuka aplikasi yang kumaksud, telunjuk Bapak malah nyasar ke logo marketplace yang ada di pojokan.
“Loh, apa ini? Kok malah belanja?” serunya panik, khawatir saldo di rekeningnya berkurang.
“Tak apa-apa,” jawabku meredam drama kecil itu sebelum berubah jadi sinetron, “Lagian, belum diapa-apain juga kok!”
Setelah melakukannya beberapa kali, Bapak kelihatan mulai memahami alurnya. Dia mengangguk tanda mengerti, sembari menarik napas berat seolah telah berhasil melewati sesuatu yang sangat berat dalam hidupnya
“Kalau jarang latihan, bisa lupa lagi nih,” Bapak melirik ke arahku sambil membetulkan posisi kacamatanya.
“Kalau salah masukin PIN gimana, Gus?” tanyanya penuh was-was.
“Kalau sampai tiga kali, ya diblokir,” jawabku santai.
“Waduh, gitu ya?”
“Pakai sidik jari juga bisa kok, Pak.” aku memberi solusi lain.
“Kalau tangan Bapak basah?” Bapak mulai bertanya semaunya.
“Ini gimana kalau mau transfer?”
“Kalau beli token listrik?”
“Lihat saldonya di sebelah mana?
“Kalau hapenya hilang gimana, Gus?”
Malam itu, sesi mentoring BRImo terasa seperti seminar sehari penuh, dengan aku sebagai pembicaranya dan Bapak sebagai satu-satunya peserta yang paling kritis bertanya.
Dua, tiga hari berlalu.
Semangat digital Bapak sepertinya sudah mulai padam. Tidak ada lagi sesi mentoring seperti malam sebelumnya. Hape barunya kini juga lebih sering digunakan untuk Yutub-an, mencari video burung jalak gacor, atau membalas pesan-pesan receh yang ada di grup WA “Komunitas Pecinta Jalak Jawa Timur”.
“Pak Anu kena tipu lewat hape, rekeningnya habis.” cerita singkat Ibu ketika aku menanyakannya.
“Oh, pantesan,” gumamku sambil mengangguk.
Pada akhirnya, teknologi memang seperti labirin bagi sebagian orang. Apalagi, bagi generasi seangkatan Bapak yang kadang masih susah membedakan antara logo Whats*pp dan logo MiCh*t. Bagi mereka, putar balik menuju layanan konvensional merupakan solusi masuk akal daripada tersesat di belantara digital yang terlihat menyeramkan.
Kemajuan teknologi memang sudah sepatutnya bikin hidup jadi lebih simpel. Tapi bagi Bapak, jalan kaki 100 meter ke agen BRILink di depan gang jauh lebih simpel daripada disuruh buka aplikasi BRImo di ponselnya. Meski bagiku, justru yang sebaliknya.
“Tak apa-apa, hitung-hitung cari keringat,” ucap Bapak mengakhiri perdebatan.
Apapun Kebutuhan Transaksinya, BRI Selalu Punya Solusinya
Bank Rakyat Indonesia (BRI), dengan pengalaman yang sangat panjang selama 129 tahun, tentu paham betul demografi rakyat Indonesia yang tidak semuanya bisa nyambung dengan perkembangan teknologi. Terdapat segmen masyarakat yang lebih suka memakai cara lama, seperti pakai kertas dan pulpen ketimbang klik-klik di layar ponsel.
Misalnya, nasabah dari kalangan Baby Boomers. Mereka yang usianya direntang 56-74 tahun ini menyukai solusi yang praktis, cepat, tanpa perlu belajar hal-hal baru yang justru bikin otak mereka jadi mikir. Mereka tidak mau dibuat bingung dengan kode OTP atau PIN yang bisa-bisanya bikin jantung deg-degan.
Bagi orang-orang seperti Bapak, teknologi itu sebelas dua belas dengan jajanan kekinian. Meski digandrungi anak-anak muda, tapi bagi mereka justru seringkali terlihat aneh dan susah untuk dicerna. Intinya, tidak cocoklah!
Sementara itu, bagi Milenial yang sudah terbiasa dengan teknologi sejak kecil, malah lebih nyaman dengan segala hal berbasis digital. Mereka lebih senang menggunakan aplikasi mobile banking yang bisa melakukan transaksi kapan saja, di mana saja, tanpa harus keluar rumah. Bagi mereka, itu sama seperti main game di smartphone—tidak ribet, praktis, dan seru!
Dengan konsep hybrid bank, BRI mencoba menggabungkan layanan perbankan tradisional dengan layanan digital yang serba cepat dan praktis. Tujuannya jelas, untuk menjangkau semua segmen nasabah, dari yang masih setia ngantri di depan mesin ATM, sampai yang sudah paham betul cara transfer pake m-banking.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) tidak hanya fokus pada digitalisasi, tapi juga terus memperkuat keberadaan agen BRILink di seluruh penjuru Indonesia. Dengan lebih dari 1 juta agen BRILink yang tersebar di lebih dari 62.000 desa, BRI memastikan layanan perbankan tetap dekat dan mudah dijangkau, bahkan bagi mereka yang belum sepenuhnya akrab dengan dunia digital.
Pada akhirnya, kita paham bahwa selalu ada orang-orang seperti Bapak yang lebih memilih setia dengan ‘cara-cara lamanya’ daripada membaur ke dunia baru yang terasa asing bagi mereka. Ya, Bapak memang sudah nyaman dengan caranya sendiri dan itu sah-sah saja!
Oleh sebab itu, peningkatan layanan transaksi dan digitalisasi BRI menjadi langkah serius untuk mewujudkan inklusi keuangan bagi seluruh rakyat Indonesia. BRI ingin memastikan semua nasabahnya, mulai dari yang masih duduk di kursi kuliah sampai mereka yang sudah jadi langganan kursi prioritas di kereta, dapat menikmati kenyamanan dan kemudahan transaksi perbankan di mana saja dan kapan saja.
Jadi, apapun jenis transaksi yang kamu perlukan, pakai BRImo bisa, pakai BRILink juga bisa. Karena BRI selalu punya solusi untuk semua kebutuhan.
Sumber referensi
- https://www.tempo.co/iklan/agenbrilink-catat-transaksi-rp-1-170-triliun-dari-januari-hingga-september-2024-1163724
- https://keuangan.kontan.co.id/news/jumlah-pengguna-brimo-capai-371-juta-hingga-september-2024
- https://finansial.bisnis.com/read/20240529/90/1769456/rapor-pengguna-mobile-banking-bank-jumbo-kuartal-i2024-bri-teratas-mandiri-melesat
- https://finansial.bisnis.com/read/20180919/90/840148/hampir-separuh-nasabah-bri-generasi-milenial
Tinggalkan Balasan